Selasa, 08 November 2022

*Cerita Tentang Taman Bahagia 45, Makam Syuhada yang Terlupakan*



12 Desember 2016, 17:14:00 WIB


TERLUPAKAN: Lokasi bekas Taman Bahagia yang berada di belakang Masjid Ampel, Surabaya. (TAUFIQURRAHMAN/Jawa Pos)

 


Saat pertempuran 10 November 1945 meletus, pesawat-pesawat pengebom sekutu beterbangan dari arah utara. Kawasan Ampel termasuk garis terdepan. Satu bom jatuh di Ampel Menara. Menewaskan ratusan warga. Baik pejuang maupun non pejuang. Mereka dimakamkan bersama di satu tempat. Taman Bahagia 45 namanya.


 


TAUFIQURRAHMAN, Surabaya


 


LUBANG bekas bom yang jatuh pernah ditanami pohon beringin. Tumbuh besar di tengah-tengah permukiman padat di Gang Ampel Menara. Beberapa ratus meter dari Masjid Agung Ampel. Tujuannya sebagai pengingat. Tetenger. Sekarang pohon beringin itu sudah hilang.


Pohon beringin tersebut ditanam oleh Raden Wijayakrana, seorang bangsawan asal Madura. Dia dibantu Haji Abdul Aziz, yang juga ningrat dari Pulau Garam tersebut. Di pohon itulah, Muhammad Khotib, cucu Abdul Aziz, menghabiskan masa kecil. Di cabang-cabang pohon tersebut, Khotib bergelantungan hingga membuat rumah pohon.


Daripada bolong melompong, Khotib, kini ketua RW 4 Ampel Menara, berinisiatif menanam pohon mangga di bekas pohon beringin tersebut. Pohonnya belum besar. Mungkin dua meteran tingginya. Di sekeliling pohon itu dipasang pagar besi dengan cat merah-putih.


’’Saya akan bikin relief juga di sini, mengingatkan peristiwa zaman lampau,’’ kata Khotib sambil menunjukkan pohon tersebut kepada Jawa Pos, Jumat (9/12).


Selain lubang, bom sekutu meninggalkan banyak sekali korban di kalangan warga Ampel. Mereka kemudian dievakuasi dan dimakamkan bersama beberapa meter dari kompleks makam Sunan Ampel. Beberapa meter di belakang Masjid Agung Ampel.


Tentu saja, hari ini makam tersebut sudah tidak ada. Bekas Taman Bahagia sudah menjadi permukaan paving dekat tempat wudu. Pada 1985 jenazah para pahlawan tersebut dipindah ke Taman Makam Pahlawan (TMP) Mayjen Sungkono. Pemindahan itu dilakukan lantaran ada penataan dan perluasan kawasan Wisata Religi Ampel. Rencana perluasan Masjid Ampel memang muncul pada dekade 1980-an.


Khotib masih menyimpan beberapa foto lawas yang mengabadikan momen pemindahan tersebut. Serah terimanya dilakukan Camat Semampir saat itu Soekaryanto kepada kepala Dinas Sosial Kota Surabaya. ’’Sebelum dipindahkan, jenazah disemayamkan di Kodim 0830 Surabaya Utara (Jalan Gresik, Red),’’ tutur Khotib.


Di dalam foto tersebut, tergambar warga dan beberapa personel TNI sedang duduk mengelilingi peti berisi tengkorak dan tulang belulang manusia penghuni Taman Bahagia Surabaya. Khotib menuturkan, jenazah dimasukkan ke empat peti. Nama Taman Bahagia tidak terlalu dikenal. Tapi, Khotib cukup yakin. ’’Dulu ada tulisan melengkung di pintu masuk makam, Taman Bahagia 45,’’ ujarnya.


Taman itu sama sekali belum masuk dalam peta sejarah maupun wisata Kota Surabaya. Untunglah, Khotib dan beberapa kawannya primpen menyimpan berbagai catatan tentang TMP tersebut. Khotib bahkan yakin di TMP Mayjen Sungkono tidak akan bisa dibedakan lagi mana yang berasal dari Taman Bahagia. ’’Serabutan, sejak dimakamkan di Ampel saja, banyak yang tidak dikenal,’’ katanya.


Khotib kemudian mengajak Jawa Pos untuk menemui saksi hidup saat pemindahan para jenazah penghuni Taman Bahagia 45. Dia adalah Muhammad Nuh, lurah Ampel pada 1994. Rumahnya berada di ujung Gang Ampel Gading.


Di ruang tamunya, Nuh dan Khotib bergantian bercerita. Yang tidak banyak diketahui adalah kuburan warga Ampel korban mortir yang masih tersebar di sepanjang Jalan Petukangan, Surabaya. Namun, hari ini wilayah tersebut sudah berubah menjadi perumahan warga. ’’Makanya, salah satu gang bernama Petukangan Makam,’’ katanya. Bagian utara kompleks pemakaman Sunan Ampel memang dahulu adalah areal pemakaman yang luas. Termasuk di dalamnya bong, makam Tionghoa muslim.


Namun, beberapa orang yang diakui ketokohannya punya kontribusi besar terhadap revolusi serta kalangan pejuang diberi tempat khusus. Yakni, di Taman Bahagia 45. Meski demikian, banyak juga penghuni Taman Bahagia yang tidak teridentifikasi. ’’Bisa dikatakan, Taman Bahagia adalah makam syuhada dari warga Ampel,’’ katanya.


Waktu itu, Nuh sedang menjabat staf Kecamatan Semampir. Dia menyaksikan dari dekat jenazah para pahlawan diangkat dan dipindahkan. Prosesnya berlangsung lancar meski beberapa warga Ampel berkeberatan dengan pemindahan makam tersebut. ’’Mau gimana lagi, tanahnya punya Masjid Ampel,’’ ujar Nuh.


Selain itu, pemindahan dilakukan untuk menempatkan kembali jenazah para pahlawan ke lokasi yang seharusnya dikenal sebagai tempat para pahlawan.


Nuh ingat betul cerita tentang mencekamnya suasana perang 71 tahun silam. Lepas dari bombardir pesawat, ganti Gurkha, tentara Inggris yang berasal dari Nepal, melakukan penyisiran. Kampung Ampel memang menjadi basis pertahanan warga pro-Republik. Kebanyakan di antara mereka tidak terlatih dalam bidang kemiliteran. Para tentara lebih sering berkumpul di pos pertahanan di tengah kota, sekitar Tugu Pahlawan. Bahkan, untuk menghadapi invasi pengebom, warga Ampel punya bungker tersendiri. ’’Begitu ada suara pesawat, warga lari ke bungker,’’ tutur Nuh.


Setiap gang di Ampel juga punya nama unik. Sesuai dengan keadaan mereka pada masa itu. Ampel Gading dahulu bernama Kampung Pande karena dipenuhi para pandai besi. Sedangkan Ampel Kejeron mendapat namanya karena letaknya menjorok ke dalam. Sementara itu, Ampel Menara dikenal dengan kampung penculik. ’’Namanya dulu Kampung Culik,’’ tutur Khotib.


Itu terjadi lantaran banyak pejuang bertipe militer yang menjadi korban penculikan saat tentara Gurkha rajin menyisir wilayah tersebut. Begitu seseorang ketahuan sebagai tentara (terlatih dalam bidang kemiliteran), dia langsung diciduk dan dibawa ke tempat penahanan. ’’Paman saya adalah seorang anggota Hizbullah. Pada waktu itu, dia lolos dari penyisiran,’’ kata Nuh.


Nuh masih ingat ada salah seorang penjual es cendol yang bernama Chasbullah. Dia berjualan di depan rumah di Ampel Gading Nomor 8. Apesnya, saat itu tentara Gurkha sedang menyisir seluruh wilayah Ampel. Bertemu Chasbullah, si tentara membentak penjual es cendol tersebut. ’’Siapa kamu?’’ katanya.


Sontak Chasbullah menyebutkan namanya. Kata Chasbullah didengar tentara Gurkha sebagai Hizbullah. Si tukang cendol malang itu pun diciduk tentara Gurkha. Untung, ada warga Ampel keturunan India yang menjelaskan. Chasbullah pun dilepas. ’’Jadi, warga dari kalangan pejuang sangat dijaga di kampung ini,’’ tuturnya.


Bom yang dijatuhkan sekutu meninggalkan banyak bekas. Salah seorang tetangga Nuh sedang berada di kamarnya saat sebuah mortir menimpa atap rumah. Beberapa warga juga masih punya serpihan mortir di perut dan masih bertahan hidup beberapa tahun kemudian.


Seingat Khotib, dahulu kawasan makam Ampel sangat asri. Khotib kecil juga sering bermain di pohon mangga dan nangka yang tumbuh di sekitar makam. Namun, seiring pertumbuhan permukiman, banyak peninggalan sejarah di makam tersebut yang hilang entah ke mana.


Termasuk salah satu plakat tanda makam yang ditulis dengan empat bahasa. Belanda, Indonesia, Melayu (pegon), dan Arab. Plakat itu berada di dekat salah satu rumah warga.


’’Saya kemarin mendatangi rumahnya, e lhadalah, plangnya dijadikan kayu bakar, habis,’’ kata Khotib, tampak kecewa. (*/c7/dos)


 




Editor : fimjepe

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Solo

 Bukan Palembang, tapi ini Solo 💞 Indahnya Pesona kota Solo, 💞 Kota Solo, atau Surakarta, adalah salah satu kota di Indonesia yang memikat...